Belakangan ini sedang marak polemik mengenai UU Cipta Kerja atau yang juga dikenal dengan nama Omnibus Law yang sudah disahkan oleh DPR RI. Sebagian kalangan menilai UU ini hanya akan menyengsarakan rakyat Indonesia. Para buruh terutama yang merasa paling dirugikan oleh adanya undang – undang ini. Ketua KSPI, Said Iqbal berpendapat bahwa undang – undang ini akan mempersulit kehidupan para buruh yang sudah sangat merana itu sementara di sisi lain akan menguntungkan bagi para pengusaha.
Sementara dari sisi pemerintah, UU ini mendesak untuk segera diberlakukan untuk mempercepat perluasan lapangan pekerjaan yang sangat dibutuhkan di era pandemi ini. Bila kita merunut ke belakang sebenarnya ini bukan kali pertama Indonesia melakukan upaya pemberdayaan untuk mendorong iklim bisnis semakin berkembang di masyarakat.
Sebelumnya, pada masa awal berdirinya Republik ini yaitu pada era yang dikenal dalam sejarah sebagai zaman Demokrasi Parlementer, pemerintah pernah menerapkan sistem ekonomi Benteng. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan sistem ekonomi benteng ini? Menurut Profesor Boediono dalam bukunya Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah, program atau sistem ekonomi benteng adalah bentuk upaya pemerintah kala itu untuk secepatnya menggeser dominasi ekonomi Belanda dan meningkatkan peran pribumi di bidang ekonomi.
Dalam sistem ini pemerintah memberikan berbagai kemudahan bagi kalangan pribumi yang hendak mendirikan usaha, mengekspor/mengimpor barang. Pemerintah memberikan kredit usaha kepada perorangan ataupun perusahaan pribumi yang umumnya kekurangan modal. Tetapi kemudahan ini dimanfaatkan oleh sekelompok kalangan Tionghoa untuk mengimpor barang dengan harga murah karena tidak dikenakan pajak dan menjualnya dengan harga tinggi sehingga sangat menguntungkan.
Praktek yang kemudian dikenal sebagai Ali Baba ini memang menguntungkan sekelompok orang – orang pribumi yang berperan sebagai Ali dan orang Tionghoa sebagai Babanya. Baba harus membayar sejumlah uang kepada Ali untuk mendapatkan izin atau kredit yang dibutuhkan dengan keuntungan yang berlipat – lipat. Adalah Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo yang mencetuskan ide Gerakan Benteng ini.
Ide gerakan yang pertama kali dimunculkan pada masa pemerintahan Perdana Menteri Mohammad Natsir ini adalah agar orang – orang pribumi terdorong untuk menjadi pengusaha. Dengan mendadak bermunculan sekelompok orang tanpa modal sepeserpun atau hanya bermodalkan sejumlah berkas – berkas saja mendapat izin untuk mengimpor barang atau surat kredit dari pemerintah. Tapi izin dan surat kredit tersebut bukannya digunakan untuk mendirikan usaha tapi malahan dijual kembali ke pedagang dan saudagar Tionghoa kaya yang akhirnya menggunakan izin impor atau kredit pemerintah tersebut untuk memperluas usahanya.
Dengan demikian program yang sejatinya bermaksud baik, yaitu hendak mensejahterakan kaum pribumi yang merupakan mayoritas rakyat Indonesia menjadi gagal total. Hanya segelintir pengusaha pribumi yang berhasil diciptakan oleh program ini. Gerakan Benteng sendiri akhirnya dihentikan oleh Perdana Menteri Juanda pada tahun 1957. Bila kita berkaca pada kegagalan masa lalu, apakah ini akan terulang kembali sebagaimana pemeo ‘sejarah senantiasa berulang’.
Kekhawatiran itulah mungkin yang mendasari penolakan yang sangat kuat dari kelompok buruh dan mahasiswa terhadap Omnibus Law. Apabila kebijakan yang awalnya berusaha memanjakan kelompok pribumi agar menjadi sejahtera dapat berakhir kandas dan menjadi sumber korupsi apalagi bila kebijakan tersebut justru hanya menguntungkan golongan pemilik modal yang jumlahnya tidak sampai 1 persen dari penduduk negeri ini. Hanya waktu yang dapat mengungkap semuanya tapi bila ada sesuatu yang kita pelajari dari sejarah adalah bahwa kita sebenarnya tidak pernah benar – benar belajar darinya.(Penulis merupakan guru sejarah SMA IHBS)
Posting Komentar
0Komentar