Diketahui, pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja oleh DPR RI pada 5 Oktober 2020 telah memicu berbagai penolakan hingga demo yang melibatkan banyak massa dan berakhir ricuh. Musa Rajekshah tidak ingin hal tersebut terjadi di Sumut, terutama di masa pandemi Covid-19. Menurutnya, bila terjadi hal-hal yang tidak dinginkan kerugian ada di masyarakat Sumut sendiri.
“Ada isu-isu berkembang di masyarakat yang belum tentu kebenarannya, terutama isu ketidakberpihakan pemerintah kepada pekerja. Saya harapkan kepada para buruh dan pekerja yang ada di Sumatera Utara untuk tenang dulu, melihat perkembangan undang-undang ini seperti apa penerapannya dan tidak termakan isu-isu menyesatkan dan merugikan kita,” kata Musa Rakjekshah, usai rapat dengan Forkopimda di Rumah Dinas Gubernur Sumut, Jalan Jenderal Sudirman Nomor 41 Medan, Rabu (7/10).
Menurut Musa Rajekshah, salah satu dampak buruk akibat kondisi keamanan yang tidak kondusif adalah enggannya investor untuk menanamkan modalnya di Sumut. Padahal Omnibus Law Cipta Kerja salah satu tujuannya adalah untuk menarik investor ke Indonesia, sehingga bisa membuka lapangan kerja seluas-luasnya.
“Pekerja juga akan mendapat kerugian (bila situasi tidak kondusif), kesulitan lapangan kerja karena investor enggan masuk ke Indonesia atau Sumatera Utara. Undang-undang ini diciptakan salah satunya adalah agar investor lebih yakin untuk masuk ke Indonesia termasuk Sumut,” terang Musa Rajekshah.
Musa Rakjekshah pun kembali mengimbau seluruh masyarakat Sumut agar waspada dan tidak terprovokasi pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil kesempatan di tengah situasi seperti saat ini. “Saat ini kita di tengah pandemi Covid-19 yang mempengaruhi semua aspek termasuk ekonomi. Jangalah di tengah situasi seperti ini terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan,” ungkapnya.
Sementara itu, Plt Kepala Dinas Ketenagakerjaan Sumut Harianto Butarbutar Sumut menegaskan sedikitnya ada 12 hoaks atau informasi bohong yang sedang berkembang di masyarakat terkait Omnibus Law Cipta Kerja yang baru saja disahkan DPR RI, yaitu hilangnya pesangon, dihapusnya upah minimum, upah dihitung perjam, hak cuti hilang dan tidak ada kompensasi, outsourching berlaku seumur hidup, tidak ada status karyawan tetap, perusahaan bisa mem-PHK kapan saja secara sepihak, jaminan sosial dan kesejahteraan hilang, semua karyawan berstatus tenaga kerja harian, tenaga kerja asing bebas masuk, buruh dilarang protes (ancaman PHK), libur hari raya hanya tanggal merah dan tidak ada penambahan.
“Dibilang pesangon tidak ada, upah diturunkan ini kan sudah tidak bernar, tidak ada satupun dari 12 hoaks itu yang benar. Memang setiap ada undang-udang baru tentu ada yang berubah dan nantinya undang-undang ini diturunkan ke peraturan pemerintah yang mengatur secara teknis dan detail. Jadi bersabar saja, jangan pula ikut-ikutkan memanaskan suasana, padahal tidak tahu isi dari Omnibus Law itu sendiri,” kata Harianto.
Dijelaskannya, sesungguhnya pesangon tetap dibayar maksimal 25 kali gaji dengan skema pembayaran 19 kali oleh perusahaan, enam kali oleh pemerintah. Masalah pesangon ini diatur pada Pasal 156 UU Cipta Kerja. Begitu juga dengan Upah Minimum Provinsi (UMP), Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/kota (UMSK). Pasal 88C ayat 1 UU Cipta Kerja tertulis Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi dan pasal dua menyebutkan Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.
Begitu juga dengan isu upah dihitung perjam, padahal di UU Cipta Kerja tetap menggunakan upah minimum. Dan mengenai hilangnya hak cuti, pada pasal 79 ayat (5) menyebutkan perusahaan dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja sama. Sedangkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur cuti panjang diberikan 1 bulan pada tahun ke-7 dan 1 bulan pada tahun ke-8.
“Jadi sekali lagi kami tegaskan, bahwa informasi hoaks tentang Omnibus Law Cipta Kerja yang berkembang di masyarakat itu sama sekali tidak benar,” tegasnya.
Harianto juga menyampaikan, demontrasi yang diprediksi akan terjadi pada Kamis (8/10) mendatang dikhawatirkan ditumpangi oleh kepentingan lain. Massa yang menumpang ini diprediksi sebagai pemicu terjadinya hal-hal anarkis. Karena itu Harianto berharap para pekerja untuk tidak turun ke jalan menuntut pembatalan Omnibus Law Cipta Kerja.
“Bertambah dewasa lah kita menyikapi hal tertentu, jangan ikut-ikutan. Tidak pernah pemerintah ini mengorbankan para pekerjanya, malah menyempurnakan dengan peraturan-peraturan yang baru karena dinamisnya masalah teknologi industri pada saat ini,” tambah Harianto.
Rapat kali ini juga diikuti Sekdaprov Sumut R Sabrina, Kabinda Sumut Brigjen TNI Ruruh Setyawibawa, Karo Ops Polda Sumut Kombes Pol Makmur Ginting, perwakilan dari Kejaksaan Tinggi Sumut, Kodam I/BB, Kosek Hanudnas III Medan dan unsur Forkopimda lainnya.(rel/bn)
Posting Komentar
0Komentar