Bicaranews.com – Bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia Internasional pada hari ini, 10 Desember, 147 imam Katolik di Papua menyerukan agar kekerasan di Papua dihentikan dan memohon agar para uskup memberi perhatian serius demi keselamatan umat di daerah ujung timur tersebut.
Dalam sebuah pernyataan yang dibacakan oleh Pastor John Bunay, Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) dan dihadiri 20-an perwakilan para imam yang menandatanganinya serta disiarkan melalui kanal Youtube Komisi Komsos Keuskupan Jayapura, mereka menyatakan: “Merasa terpanggil menjadi corong untuk menyuarakan hati nurani umat yang dipercayakan Tuhan” kepada mereka.
“Kami menyuarakan rintihan hati nurani ibu-ibu hamil dan yang sedang menyusui, anak-anak kecil, orang tua dan anak muda, orang yang sakit, yang buta, yang tuli dan yang lumpuh, semua yang tak berdaya yang kini hidup dalam kecemasan dan ketakutan di seluruh Tanah Papua,” kata mereka.
Pernyataan itu ditandatangani oleh imam diosesan maupun dari berbagai kongregasi, seperti Fransiskan, Agustinian, Jesuit, dan Serikat Sabda Allah di seluruh wilayah Papua.
Mereka menyebut, situasi hak asasi manusia di Papua terus memburuk, di mana selama beberapa waktu terakhir, banyak yang menjadi korban kekerasan termasuk para pelayan Gereja.
Mereka menyinggung kasus kematian Pendeta Yeremia Zanambani yang ditembak oleh tentara di kampung Hitadipa, Intan Jaya pada 19 September, juga Rufinus Tigau, katekis yang ditembak pada 26 Oktober.
Menyusul adanya kasus-kasus penembakan itu, pada 3 November, Menko Polhukam, Mahfud MD, bertemu dengan dua uskup dari Papua, yakni Mgr. Aloysius Murwito, OFM dan Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC serta Kardinal Ignatius Suharyo, Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI).
Namun, mereka menilai tidak ada yang berubah. Hanya tiga hari kemudian, pada 6 November, kata mereka, pimpinan militer menyatakan tetap melanjutkan operasi militer.
Para imam menyatakan, kehadiran tentara non-organik yang melancarkan operasi menjadi kecemasan bagi warga Papua dan meminta Presiden Joko Widodo secepatnya menarik kembali semua pasukan non-organik itu.
Mereka pun meminta agar tentara dan militer bersama kubu tentara pro-kemerdekaan menghentikan “kekerasan bersenjata dan membuka ruang hati untuk berunding dalam dialog bermartabat yang dapat dimediasi oleh negara atau kelompok netral dan independen.
“Kekerasan tidak pernah akan menyelesaikan permasalahan, malahan akan menambah sejuta kesengsaraan dan masalah baru,” kata mereka.
“Sadarlah bahwa keselamatan nyawa manusia tidak berada di ujung laras senjata, Saudara sekalian,” tambah mereka.
Seruan para imam juga disampaikan kepada kepada Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) untuk “jangan tinggal diam atau seakan-akan tidak mau tahu dengan kondisi terlukanya rasa kemanusiaan umat Papua.
“Mengapa Bapak-bapak Pimpinan Gereja Katolik Indonesia tidak membahas secara holistik, serius, dan tuntas mengenai konflik terlama di Tanah Papua dalam rapat tahunan KWI?” kata mereka.
Mereka merasa heran dan sekaligus merasa tersisih, karena mendengar bahwa KWI begitu cepat menyatakan sikap dan ungkapan dukacita terhadap peristiwa kekerasan terhadap umat Protestan di Kabupaten Sigi – Sulawesi Tengah baru-baru ini, “sedangkan duka dan kecemasan serta terbunuhnya manusia Papua terasa luput dari perhatian, perlindungan, dan bela rasa KWI,” kata mereka.
Sementara untuk para uskup di Papua, mereka menyatakan, “merindukan gembala yang berada di tempat yang paling depan untuk bertindak menyelamatkan umat Tuhan.”
Para imam pun menyatakan, masalah Papua mesti ditangani dengan pendekatan dialog bermartabat, yang tidak dimaksudkan untuk mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, tetapi demi menemukan kebenaran-kebenaran nyata yang mengantar semua pihak kepada keadilan dan damai dalam hidup.
“Dialog tidak akan pernah membunuh, dialog tidak akan pernah menyakiti, dan dialog tidak akan pernah menjadikan kita bodoh. Justru ketika kita menggunakan cara-cara yang salah seperti tindakan kekerasan yang tidak berperi-kemanusiaan, maka kita akan meninggalkan luka busuk lahir maupun batin,” kata mereka.
Pastor Paulus Tumayang OFM, salah satu penandatangan pernyataan itu menyatakan, suara mereka lahir dari pengalaman perjumpaan riil dengan umat di desa dan kampung-kampung.
“Kami tidak berafiliasi dengan kelompok mana pun. Ini murni suara kami sebagai pelayan Tuhan,” kata Pastor Paroki St. Petrus dan Paulus Argapura, Keuskupan Jayapura ini.
Sementara Pastor John Djonga, imam aktivis mengatakan, mereka mesti bersuara karena umat mengaku merasa bahwa pemerintah tidak mau tahu dengan nasib mereka.
“Ada kesan bahwa pemerintah tidak lagi merasa bertanggung jawab terhadap situasi ini. Karena itu, kami mesti angkat suara,” katanya.(sumber:katoliknews)
Posting Komentar
0Komentar