"Saya akan mengumumkan bahwa nama yang diusulkan oleh presiden untuk menggantikan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa adalah Laksamana TNI Yudo Margono, Kepala Staf Angkatan Laut, yang menjabat KSAL saat ini," ujar Puan dalam jumpa pers di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (28/11/2022).
Puan mengatakan, Yudo diterima oleh DPR untuk mengikuti mekanisme pemilihan panglima TNI yang berlaku. "Yudo segera menjalani fit and proper test di Komisi I DPR," ucapnya.
Sementara itu, Pengamat militer dan pertahanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyoroti masa abdi Andika yang terbilang singkat juga bakal dialami Yudo. Ia menyebutkan Yudo bakal pensiun pada November 2023. Atas dasar itu, ia menilai Yudo tak perlu harus merasa terbebani karena cukup menyesuaikan prioritas-prioritas dari pekerjaan-pekerjaan rumah (PR) yang ada, serta melanjutkan agenda-agenda yang sudah diawali Andika dan belum tuntas.
"Semisal dalam penanganan masalah Papua, pembangunan pertahanan Ibu Kota Negara (IKN), pemantapan interoperabilitas matra, maupun respons strategis atas potensi eskalasi di Utara dan Selatan perairan Indonesia," ujar Khairul, Senin (28/11) dikutip dari cnnindonesia.
Menurut Khairul, Indonesia membutuhkan sosok Panglima yang kuat secara manajerial dan kemampuan berfikir strategis, mampu membangun komunikasi sosial termasuk dalam kerangka diplomasi pertahanan.
Di balik itu, Khairul juga menilai RI butuh panglima TNI yang low profile, terutama dalam hal-hal yang bersifat politis.Pasalnya Yudo masih akan dihadapkan pada sejumlah tantangan besar seperti isu dinamika lingkungan strategis, juga menyangkut pengembangan organisasi, soal moral, kompetensi dan kesejahteraan prajurit maupun modernisasi alat utama sistem pertahanan (alutsista).
"Di sisi lain, juga harus tetap menjaga sinergitas dengan Polri dan lembaga-lembaga lain," kata Khairul.
Khairul pun menjabarkan lima tugas berat yang turut menanti Yudo yakni pemantapan interoperabilitas atau kordinasi matra melalui penguatan peran Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) seperti peremajaan dan modernisasi alutsista, termasuk soal pemeliharaan, penggunaan dan keselamatan pengguna.
Lalu, penyelesaian masalah-masalah kekerasan yang tidak patut oleh prajurit, baik di lingkungan TNI maupun di tengah masyarakat seperti pelibatan dan tugas perbantuan TNI dalam hal-hal yang kurang relevan dengan tugas pokoknya serta tidak memiliki alas hukum yang kuat.
"Misalnya, pengamanan gedung Mahkamah Agung (MA) yang tengah banyak dipersoalkan," sindir Khairul.
Selanjutnya, komitmen dan penghormatan terhadap prinsip-prinsip netralitas TNI, HAM, demokrasi dan supremasi sipil. Termasuk, dalam hal pengawasan parlemen. Menurutnya, Indonesia tidak ingin terjadi lagi reaksi berlebihan atas kerja-kerja pengawasan DPR di kemudian hari.
Khairul juga menyinggung janji Andika Perkasa seraya memberikan pesan untuk Yudo. "(Yudo) tidak boleh banyak janji atau prioritas. Nanti ditagih publik malah susah sendiri, waktunya kan terbatas," jelas Khairul.
Masalah Papua dan Perbatasan
Nuning ikut menyoroti pelbagai masalah yang selama ini terjadi di wilayah Indonesia maupun di perbatasan. "Panglima TNI baru dalam waktu singkat harus juga menangani Papua dan daerah perbatasan yang sarat konflik dengan baik," jelas Nuning.
Menurut Nuning, TNI setidaknya mesti memiliki kemampuan komunikasi antar budaya, mengingat banyaknya suku dan lembaga adat di Papua. Selain itu, TNI di Papua dinilai juga harus piawai dalam membina hubungan dengan stakeholder, seperti pejabat daerah dan kepala suku.
"PR Panglima TNI juga di kawasan harus memiliki strategi hadapi AUKUS, fluktuasi di Laut Cina Selatan, adanya perang Rusia vs Ukraina yang merupakan perang multidimensi," imbuh dia.
Lain halnya dengan Khairul yang melihat masalah perbatasan dan konflik Papua sebagai masalah pemerintah.
TNI, terang dia, memang memiliki peran sebagai penegak kedaulatan dan penjaga keutuhan wilayah. Kendati demikian, patut digarisbawahi bahwa masalah tersebut bukan hanya berkaitan dengan isu kedaulatan dan keamanan, serta dapat diselesaikan dalam waktu singkat.
"Menurut saya itu lebih tepat dikatakan sebagai masalah pemerintah. TNI hanya perlu memastikan kesiapannya mendukung dan mengawal agenda program kebijakan yang dirancang pemerintah di kawasan perbatasan maupun sebagai resolusi konflik di Papua," jelas Khairul.
"TNI bisa mengambil porsi penugasan lain dalam menunjang kinerja pemerintah untuk membangun Papua. Misalnya dengan memperkuat bidang intelijen, pengumpulan informasi dan penyebarluasan propaganda positif di Papua sehingga dapat apa yang diharapkan masyarakat lokal dapat selaras dengan kebijakan pemerintah," tambah dia.
Pengamat militer Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia Beni Sukadis menilai TNI tidak bisa melakukan apa-apa terkait Papua karena terkait kebijakan pemerintah sebagai pemegang wewenangnya.
"Selama pemerintah menganggap konflik biasa artinya menempatkan Polri sebagai leading sector dalam penanganan konflik, bukan TNI," kata Beni.
Beni turut menyoroti perihal tantangan atau ancaman saat ini dan ke depan yang berasal dari wilayah maritim. "Menjaga wilayah Natuna Utara dari ancaman dari negara besar seperti Cina yang terus mengklaim sembilan garis putus sehingga beririsan dengan wilayah ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) kita," terang Beni.
"Di lain sisi, wilayah maritim yang luas ini belum bisa dijaga secara optimal oleh TNI, sehingga kasus pencurian ikan, pelanggaran batas wilayah atau ZEE, penyelundupan, dan lainnya masih terjadi," sambungnya.
Panglima TNI dan Pemilu 2024
Gelaran pesta demokrasi Pemilu 2024 makin dekat. Peran Panglima TNI pun turut disoroti. "Panglima TNI harus menjaga netralitas di tahun politik ini. Panglima TNI di tahun politik ini harus piawai menjaga keseimbangan dan pandai hadapi fluktuasi politik," katanya.
Sementara itu, Khairul menyampaikan pengaitan Panglima TNI dengan agenda politik justru lebih bertendensi pada upaya menarik-narik TNI untuk cawe-cawe (ikut menangani) pada agenda politik praktis, bukan politik negara.
Ia menilai posisi Panglima TNI overrated atau berlebihan oleh masyarakat. Ia menyebut pergantian estafet kepemimpinan TNI tak berhubungan langsung dengan agenda politik.
"Kita ini overrated sama posisi Panglima TNI. Sebenarnya tidak ada keterkaitan langsung antara tahun politik maupun tahapan Pemilu, dengan pergantian Panglima TNI. Hanya seolah-olah, itu ada dampaknya pada kelancaran pelaksanaan Pemilu maupun stabilitas politik nasional," tutur Khairul.
Khairul mengatakan Indonesia tak lagi hidup di masa Orde Baru di mana militer kala itu juga memiliki peran sangat penting dalam pengamanan dan pemenangan Pemilu.
Menurut Khairul, Panglima TNI idealnya jauh dari sifat politis. Namun, hal itu rumit secara faktual. Mengingat, nama Panglima TNI yang dinilai produk politik karena berangkat dari usulan Presiden. Selain itu, Khairul menyebut militer Indonesia adalah militer yang sejak awal sudah cenderung berpolitik.
"Jadi yang paling masuk akal adalah kita memiliki Panglima TNI yang memahami batasan sesuai perundang-undangan, mampu berjarak dengan agenda-agenda politik praktis elektoral dan kekuasaan dan berkomitmen sepenuhnya bahwa politik yang dijalankan dan dikawal oleh TNI adalah politik negara," jelas dia.
"Panglima TNI low profile dalam urusan politik aja sudah merupakan bagian dari upaya menjaga keseimbangan dan menghindari turbulensi politik kok," imbuhnya.
sumber:dtc/cnni
Posting Komentar
0Komentar