Massa mulai membakar spanduk bekas, melempar botol bekas air mineral.
Suasana memanas mulai sekitar pukul 15:00 WIB, ketika masa mulai lempar-lemparan botol ke arah gedung DPRD.
Bahkan, mahasiswa yang mengenakan almamater berwarna hijau sempat saling dorong dengan personel Polisi yang berjaga.
Pantauan di lokasi, suasana mulai sesak. Api dan asap hitam dari spanduk bekas yang dibakar membumbung membuat polisi udara sekitar.
Massa yang awalnya berkelompok mulai bersatu di depan pintu masuk gedung.
Bahkan, mereka juga menggoyangkan pagar besi gedung DPRD Sumut.
Sembari membakar spanduk bekas, mereka menyanyikan lagu Indonesia Pusaka.
Sebelumnya, ratusan orang yang tergabung dalam berunjukrasa di depan gedung DPRD Sumatera Utara, Jumat (23/8/2024).
Mereka datang sekitar pukul 11:00 WIB dan silih berganti berorasi di atas mobil komando yang dibawa.
Pimpinan aksi dari Akbar Sumut Ady Yoga Kemit mengatakan, kedatangan mereka meminta supaya DPRD Sumut menyampaikan kepada DPR RI mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi.
Menurut mereka, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat.
Mereka menilai DPR RI telah abai terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.
"Akbar Sumut merespon isu terkait abainya atau tidak patutnya DPR maupun pemerintah terhadap putusan Mahkamah Konstitusi,"kata Adi, Jumat (23/8/2024).
Dalam orasinya, maupun spanduk yang dibawa, massa juga menyoroti adanya dugaan politik dinasti yang sedang dibangun Presiden Joko Widodo.
Mereka menilai pemerintahan Jokowi berupaya melanggengkan kekuasaan melalui orang-orang terdekatnya.
"Tentu yang menjadi keresahan kawan-kawan adalah yang dilakukan rezim Jokowi dalam pemerintahan ada upaya-upaya melanggengkan kekuasaan."
Selain itu, upaya melanggengkan kekuasaan Koalisi Indonesia Maju (KIM) juga dinilai kerap mengangkangi konstitusi, undang-undang dan sebagainya.
Karena keresahan ini, mereka mewanti-wanti agar masyarakat waspada jika Indonesia yang menganut sistem demokrasi diganti dengan sistem kerajaan.
"Dan yang kita sayangkan udah ada dalam upaya-upaya tersebut kerap sekali mengangkangi dan juga melakukan pembegalan terhadap konstitusi sehingga kami kira kalau rezim ini terus-terusan mengangkangi konstitusi dan legislasi peraturan perundang-undangan, rancangan undang-undang yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat maka maka pelanggan terhadap kekuasaan sangat mungkin dilakukan, ungkapnya.
"Itu yang kita rasakan kita tidak ingin jangan sampai negara ini menjadi negara kerajaan karena kita negara demokrasi harusnya kedaulatan tertinggi dan juga suara rakyat adalah suara tuhan,"sambungnya.
Diketahui, demonstrasi ini berkaitan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan syarat pencalonan kepala daerah di UU Pilkada.
Putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah.
Pada aturan sebelumnya, partai atau gabungan partai harus memenuhi syarat 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah nasional.
Saat ini, ambang batas menyesuaikan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) masing-masing daerah.
Ambang batas berkisar di rentang 6,5 persen hingga 10 persen. Namun belakangan DPR RI mencoba merevisi keputusan Mahkamah Konstitusi.
DPR RI juga tiba-tiba mengelar rapat panitia kerja usai Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan terkait syarat pencalonan calon kepala daerah.
DPR sempat bersepakat untuk mengikuti sebagian putusan MK, salah satunya soal ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 6,5 persen sampai 10 persen bagi partai non Parlemen.
Namun DPR tak setuju keputusan MK soal batas usia calon kepala daerah.
DPR lalu menyetujui keputusan Mahkamah Agung (MA) soal batas usia minimal berusia 30 tahun pada saat pelantikan.
Sikap DPR itu pun dinilai terburu-buru dan terkesan titipan kepentingan segelintir orang. Hal ini kemudian mengundang protes oleh kelompok masyarakat.
Aksi protes yang meluas membuat DPR menyetujui semua keputusan MK. (Trib/Bn)
Posting Komentar
0Komentar